SEPATAH KATA
Om Swastyastu,
Atas asung kerta wara nugraha Ida
Sang Hyang Widhi Wasa penulis mencoba untuk menyusun sejarah singkat berdirinya
Pura Amertaloka yang berlokasi di Desa Tumpukan, Kecamatan Karangdowo,
Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah berdasarkan kenyataan yang ada dimana
penuh dengan semangat dan perjuangan dari segenap umat.
Demi kesinambungan pengelolaan
Pura Amertaloka dari satu generasi ke generasi berikutnya, penulis menganggap
perlu memberikan pengertian tentang Sejarah Berdirinya Pura tersebut. Sejak
perjuangan umat Hindu untuk mendapatkan tanah Kas Desa sebagai tanah pekarangan
Pura, cara-cara mendapatkan dana untuk pembangunan Pura, kegiatan-kegiatan
keagamaan yang dilakukan umat dan lain sebagainya memerlukan proses yang sangat
panjang.
Dengan disusunnya sejarah ringkas
berdirinya Pura Amertaloka serta suka dukanya para pendahulu, diharapkan
generasi berikutnya merasa mempunyai tanggungjawab sekaligus untuk mengimplementasikan
ajaran TRI DHARMA dalam bahasa Jawa :
1.
Rumangsa Melu Handarbeni : merasa ikut memiliki;
2.
Wajib Hangrungkebi : wajib
ikut menjaga dan mengamankan;
3.
Mulat Sarira Hangrasawani : berani
mawas diri;
Akhirnya dengan pengamalan ajaran
tersebut diatas, diharapkan muncul kesadaran yang tinggi dari para generasi
penerus untuk merelakan sebagian dari harta miliknya serta mendharma bhaktikan
segala kemampuannya untuk kepentingan pengelolaan Pura tersebut.
Yang juga tidak kalah pentingnya,
dengan adanya buku ini para tamu yang berkenan membaca dapat mengerti dan
mengetahui bagaimana riwayat berdirinya Pura Amertaloka yang penulisannya
sesuai dengan fakta sehingga baik buruk serta pasang surutnya dapat diketahui.
Akhir kata, ada kurang lebihnya
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Om Shanti
Shanti Shanti Om
Tumpukan, Desember
2004
Penulis
SEJARAH BERDIRINYA PURA
AMERTALOKA
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu, pada tahun 1968 masyarakat Desa Tumpukan mulai
Agama Hindu yang dibawa oleh Bapak Suminto Wignyowiyoto seorang Wasi di
Kabupaten Klaten dan mendapat tanggapan antusias dari masyarakat Desa Tumpukan
sehingga perlahan-lahan tetapi pasti Agama Hindu berkembang secara cepat di
wilayah Desa Tumpukan. Masih dalam tahun yang sama dipredisikan perkembangan
Agama Hindu mencapai 50% dari jumlah penduduk di wilayah Desa Tumpukan termasuk
seluruh perangkat desa juga menjadi penganut Agama Hindu kecuali Modin.
Dari perkembangan Agama Hindu
tersebut, pembinaan lewat pertemuan Mingguan berjalan lancar sekalipun tempat
pertemuan masih secara bergantian dirumah umat karena belum memiliki tempat
ibadah (Pura). Pada tahun 1970 atas inisiatif bersama dibentuklah Majelis Agama
yaitu Parisada Hindu Dharma (PHD) Desa Tumpukan.
Kiranya perlu menjadi catatan
bahwa berdirinya PHD Desa Tumpukan waktu itu dilatarbelakangi oleh adanya tugas
yang sangat meandesak. Umat Hindu yang masih sangat dangkal tentang ajaran
Agama Hindu ini mendapat tantangan / ujian yaitu dengan meninggalnya salah
seorang umatnya sehingga semua Pemuka Agama mengadakan pertemuan kilat untuk
membahas bagaimanamenghadapi masalah yang ada. Dalam pembahasanpun sulit untuk
mencapai keputusan karena semua masih merasa belum mampu dan dibayangi
keragu-raguan, padahal hal tersebut merupakan sesuatu yang harus segera
diselesaikan. Akhirnya dengan niat dan etikat baik saudara Tarjomulyono,
saudara Siswomiharjo dan saudara Mardiwiyoto memberanikan diri untuk
melaksanakan perawatan jenasah dan upacara pralinanya. Hal inilah yang mendesak umat Hindu Desa
Tumpukan untuk membuat wadah organisasi agama,Tanpa adanya pengarahan dan
pelantiian yang dilakukan olih Lembaga diatasnya,sebab keberadaan Umat di Desa
ini mungkin belum diketahui, sehingga belum terjamah dari PHD Kabupaten, maupun
PHD Kecamatan. Secara sederhana kepengurusan disusun sebagai berikut:
1. Pelindung : Sdr. Martosuharjo
2. Ketua I : Sdr. S.Ciptoharjono
Ketua II :
Sdr. Darmono
3. Sekertaris I : Sdr. Siswomiharjo
Sekertaris II :
Sdr. Praptodiyono
4. Bendahara I : Sdr. Harjodiwiryo
Bendahara II :
Sdr. Karnodiharjo
5. Seksi
Upacara : 1. Sdr. Tarjomulyono
2.
Sdr. Siswomiharjo
3.
Sdr. Mardiwiyoto
4.
Sdr. Yamtowiyono
Sejak terbentuknya kepengurusan
inilah Umat diajak lebih meningkatkan dalam mempelajari ajaran Agamanya, dengan
sarana dan prasarana seadanya. Bayangan untuk memiliki tempat suci sama sekali
belum ada, sedangkan buku tuntunan agama sebagai pedoman hanya ada satu-satunya
yaitu Buku Upadesa. Sehingga para pemuka dalam memberikan pengertian tentang
ajaran Hindu banyak menggunakan sumber-sumber dari adat/tradisi Jawa yang
berlaku, misalnya : petani bila akan memulai menanam padi didahului dengan
upacara TEDUN dan kalau akan mulai
menuai padinya diawali dengan upacara WIWIT dan lain-lain. Begitu berjalan terus sekalipun mengalami
pasang surut dan tidak jarang diterpa kendala yang memang cukup berat.
Namun umat Hindu tidak gentar,
bahkan semangat berjuang untuk menunjukkan eksistensi Hindu Dharma di desa
Tumpukan sangat membara. Tokoh-tokoh yang dapat dikategorikan sebagai perintis
dan pendiri Pura, antara lain:
1. Sdr.
Siswomiharjo
2. Sdr.
Karnodiharjo
3. Sdr.
Somopawiro
4. Sdr.
Mardiwiyoto
Tidak henti-hentinya mengadakan
pendekatan-pendekatan kepada masyarakat untuk mendapatkan dukungan dalam
pengajuan permohonan tanah Kas Desa untuk calon pekarangan pura.
Setiap ada pertemuan Rapat Desa yang
diadakan setahun sekali Umat Hindu selalu mengajukan permohonan dalam rapat
untuk mendapatkan tanah Kas Desa yang dapat dibangun sebagai tempat ibadah
(PURA). Kebetulan pada waktu itu saudara Siswomiharjo sebagai Sekertaris Lembaga Musyawarah
Desa (LMD) dan juga Sekretaris Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), jadi
kesempatan untuk melobi baik kepada
Perangkat Desa maupun kepada tokoh masyarakat cukup mempunyai kesempatan
sehingga dalam Rapat Desa yang diselenggarakan pada tanggal 22 September 1981 permohonan
Umat Hindu dikabulkan. Rapat Desa memutuskan bahwa tanah Kas Desa Tumpukan yang
terletak disebelah selatan Dukuh Tumpukan Persil Nomor 68 dengan ukuran luas
952 m2 dapat digunakan untuk tempat suci umat Hindu Desa Tumpukan (dibangun
PURA) yang dibuktikan dengan Surat Penyerahan tanah tersebut diatas plat segel dari
Kepala Desa Tumpukan kepada Parisada Hindu Dharma Tumpukan tertanggal 2 Maret
1984.
Pemberian tanah tersebut sesuai
dengan permohonan yang diajukan oleh umat, sekalipun tempat (tanah Kas)
dimaksud berupa empang yang kedalamannya rata-rata ± 2 M. Tentu saja timbul
suatu pertanyaan mengapa Umat Hindu memohon tanah Kas yang berupa empang?
Jawabannya karena Panitia mempunyai tujuan :
1.
Letaknya berdampingan dengan Kantor Pusat Pemerintahan Desa sehingga
setiap tamu Desa dapat mengetahui dan mengerti bahwa di Desa Tumpukan ada
penganut agama Hindu tumbuh dan berkembang di Desa Tumpukan;
2.
Dilihat dari segi harga jual Tanah Kas dimaksud harganya lebih
rendah karena berupa empang sehingga rakyat Desa Tumpukan tidak begitu
keberatan untuk melepaskannya dan bagi umat Hindu sebetulnya sudah tahu bahwa
hal ini memerlukan harta dan tenaga sangat banyak dan melelahkan.
Tanggal, 23 September 1981
Pengurus Parisada Hindu Dharma mengadakan rapat dengan agenda pokok membentuk
Pengurus Panitia Pembangunan Pura dan penggalian dana. Adapun susunan Pengurus
Panitia Pembangunan Pura Desa Tumpukan sebagai berikut :
1. Penasehat : 1. Sdr. Ciptoharjono
2. Sdr. Terjomulyono
2. Ketua I : Sdr. Darmono
Ketua II :
Sdr. Karnodiharjo
3. Sekertaris I : Sdr. Siswomiharjo
Sekertaris II :
Sdr. Hadisiswoyo
4. Bendahara I : Sdr. Parjoyono
Bendahara II :
Sdr. Mardiwiyoto
5. Pembantu : 1. Sdr. Somapawiro
2.
Sdr. Suparno S
3.
Sdr.Ratnosumanto
4.
Sdr. Gitomulyono
5.
Sdr. Yotosuparno
6.
Sdr. Atmowiyono
Setelah kepengurusan
terbentuk diteruskan rapat Panitia Pembangunan untuk menyusun program kerja
sebagai pedoman panitia dalam melangkah selanjutnya.
Tanggal 25 September 1981 Panitia
mengajak umatnya untuk memulai gotong-royong urug-urug secara bergilir. Sistem
pelaksanaan gotong royong dengan dibuat kelompok, setiap kelompok
bergotong-royong seminggu sekali sehari penuh dengan siang pulang makan dan
istirahat sebentar lalu kembali bergotong-royong sampai sore. Setelah berjalan
satu putaran cara ini dianggap kurang efisien karena setelah siang pulang makan
dan istirahat, kembalinya ke tempat gotong-royong kelompok umat sering terlambat
dan tidak bersamaan waktunya sehingga perlu dibicarakan kembali.
Tanggal 7 Oktober 1981 panitia
mengundang semua umat Hindu untuk diajak membicarakan kembali cara
gotong-royong yang terbaik agar berhasil guna. Akhirnya musyawarah memutuskan
bahwa gotong-royong tetap sehari penuh, kelompoknya juga tetap bergilir
seminggu sekali tetapi siang tidak usah pulang makan. Adapun makannya dikirim
dari umat secara bergiliran pula namun gelombang pasang surut itu tetap dialami.
Selang beberapa bulan semangat umat mulai mengendor, kegiatan gotomg-royong
berhenti sampai beberapa saat.
Tanggal 15
januari 1982 Panitia Pembangunan Pura Desa Tumpukan mengadakan rapat dengan agenda khusus membicarakan
tentang tindak lanjut urugan tanah yang sudah sekian lama terhenti. Kebetulan
waktu itu penulis turut serta mengelola kursus PGAH Kabupaten Sukoharjo yang
bertempat di Tawangsari, jadi penulis
dapat minta bantuan dari peserta kursus untuk menggerakkan umat Hindu
disekitarnya untuk berkenan dan rela membantu gotong-royong ke Desa Tumpukan.
Tanggal 4 Februari 1982 kerja bakti
masal dilaksanakan yang terdiri Umat Desa Tumpukan juga dibantu dari
teman-teman PGAH Kabupaten Sukoharjo serta sebagian umat dari Desa lain di
Kecamatan Karangdowo.
Kesadaran umat akan pentingnya
tempat ibadah makin tinggi sehingga semangat gotong-royongnyapun bertambah
tinggi pula, terbukti gotong-royong tidak hanya dilakukan pada siang hari saja
tetapi juga dilakukan pada malam hari. Sehingga Panitia harus menyediakan
puluhan lampu petromax untuk penerangan
jalan karena waktu itu belum ada jaringan listrik. Kecuali penggunaan dana yang
terkumpul dan gotong-royong umat juga ada kesadaran lain dari umat secara
pribadi dengan cara membeli tanah urug antara lain :
1. Sdr.
Karnodiharjo 20 rit
2. Sdr.
Somapawiro 20 rit
3. Sdr.
Mardiwiyoto 20 rit
4. Sdr. Darmono 20 rit
5. Sdr.
Siswomiharjo 20 rit
Inipun
pengurugan baru mencapai 75%.
Selain kegiatan pengurugan, Panitia
juga mengirim utusan untuk mengadakan pendekatan kepada Bimas Hindu Bhuda
Propinsi Jawa Tengah yang waktu itu dijabat oleh Bapak Drs. Anom Suryawan untuk
mohon petunjuk cara penggalian dana pembangunan Pura. Akhirnya pada tanggal 12
Maret 1983 Panitia diminta untuk
mengirimkan data PURA, antara lain :
1. Nama Pura;
2. Tahun
Berdirinya;
3. Jumlah Umat;
4. Luas Tanah;
5. Status
Tanah;
6. Jumlah
Rokhaniawan.
Pengiriman data Pura paling lambat
tanggal 30 Maret 1983 dan setelah pengiriman data tersebut lama sekali tidak
ada kabar, namun Panitia tidak henti-hentinya menghubungi Bapak Bimas Hindu
Budha Provinsi Jawa Tengah. Kemudian pada tanggal 29 Pebruari 1984 Panitia
mengirimkan proposal kepada Dirjen Bimas Hindu Budha Pusat lewat Bimas Hindu
Propinsi Jawa Tengah, namun ternyata masih terdapat kekurangan berkas yaitu
gambar calon Padmasana walaupun dalam proposal tersebut sudah ada denah.
Sehingga ketika proposal sampai di Bimas Propinsi belum bisa diterima dan harus
dilengkapi lagi dengan gambar calon Padmasana.
Panitia merasa sangat kerepotan
kemana harus mencari kelengkapan kekurangan berkas tersebut karena keterbatasan
pemahaman tentang gambar Padmasana. Akhirnya dengan segala keterbatasan dan
kemampuan yang ada saudara Siswomiharjo mencoba membuat gambar yang diperlukan
tersebut, antara lain :
1. Gambar
Padmasana;
2. Gambar Balai
Banjar;
3. Gambar Candi
Bentar.
Setelah
selesai gambar-gambar tersebut di foto copy dan dikirim ke Bimas Hindu Propinsi
Jawa Tengah untuk melengkapi proposal yang telah dikirim sebelumnya dan
ternyata gambar tersebut bisa diterima.
Pada tanggal 17 Juni 1984 Panitia
menerima surat dari Bimas Hindu Propinsi Jawa Tengah yang isinya agar
melengkapi berkas permohonannya dan pada tanggal 18 Juni 1984 Panitia
mengirimkan kelengkapan berkas permohonan ke Bimas Hindu Propinsi Jawa Tengah.
Selang beberapa bulan, tepatnya
tanggal 1 Nopember 1984 Panitia diperintah untuk menghadap Bapak Bimas Hindu
Budha Propinsi Jawa Tengah untuk menerima bantuan dari Pusat sebesar Rp 1.100.000,00 (Satu Juta Seratus Ribu Rupiah)
serta diberi penjelasan dari Bapak Drs. Anom Suryawan selaku Bimas Hindu Budha
Propinsi Jawa Tengah untuk memudahkan pengurusan bantuan sesuai dengan
pendataan yang lalu diperlukan Nama Pura.
Kemudian oleh Bapak Anom Suryawan, untuk memudahkan pengurusan bantuan sesuai
dengan pendataan yang lalu diperlukan nama PURA. Maka oleh bapak Drs. Anom Suryawan
diberi nama Pura INDRALOKA II. Mengapa menggunakan urutan nomor dua? Karena di
Kecamatan Karangdowo sudah ada sebuah Pura yang dibangun lebih dahulu yang
diberi nama INDRALOKA, yaitu Pura yang berlokasi di Desa Bulusan.
Kecuali menerimakan bantuan itu
Bapak Bimas Provinsi Jawa Tengah juga memberikan pengarahan kepada Panitia supaya
membuat permohonan bantuan pembangunan Pura lagi dengan syarat-syarat sama
seperti yang lalu tetapi alamat ( tujuan ) permohonan dan pengirimannya akan
ditangani oleh beliau.
Bantuan sejumlah tersebut diatas
dan ditambah swadaya umat serta usaha bantuan lain yang tidak mengikat Panitia
mulai melaksanakan Pembangunan Pura. Mengingat dana yang tersedia, sehingga
Panitia harus menentukan mana yang harus dibangun lebih dahulu, akhirnya yang
diutamakan adalah :
1.
Pagar keliling tanah Pura;
2.
Padmasana;
3.
Candi Bentar;
4.
Belai Banjar.
Ternyata
setelah pembangunan dilaksanakan tidak semua yang direncanakan dapat
diselesaikan dan yang dapat terselesaikan baru : pagar tanah Pura setinggi 1M,
Candi Bentar, Padmasana saja sedangkan Balai Banjar baru dapat menyelesaikan pondasinya
saja.
Umat sudah merasa agak lega
sekalipun baru sebagian kecil bangunan dapat diselesaikan namun gambaran untuk
memiliki tempat suci sudah jelas. Kecuali sangat mengharap waranugraha Ida Sang
Hyang Widhi, dengan potensi yang ada umat tetap giat berusaha menggali dana
untuk dapat menyelesaikan pembangunan tersebut.
Tanggal 10 Pebruari 1988 Panitia
menerima bantuan dari Denpasar yang diajukan lewat Bapak Drs. Anom Suryawan
sebesar Rp 600.000,00 ( Enam ratus ribu rupiah). Dana ini diimbangi swadaya
umat digunakan untuk meyelesaikan pembangunan Balai Banjar.
Karena sesuatu hal penulis
terpaksa harus mundur dari kepanitiaan termasuk kegiatan-kegiatan lain. Kurang
lebih hampir satu tahun penulis tidak mengikuti kegiatan di Pura. Entah apa
penyebabnya kegiatan Panitia terhenti, bahkan kegiatan umatpun ikut terhenti
pula sehingga boleh dikatakan semua kegiatan lumpuh total. Bangunan yang sudah
ada tampak tidak terawat, rumput dan tanaman liar banyak tumbuh dan hidup
dihalaman Pura sepertinya tidak ada yang bertanggung jawab.
Pada awal tahun sembilan puluhan, penulis
dihubungi salah seorang umat yang peduli untuk membicarakan tentang nasib
bangunan tempat suci itu. Akhirnya penulis merasa tergugah dan terpanggil untuk
membangkitkan kembali semangat para umat dalam menjalankan kewajiban agamanya.
Bersama dengan sebagian umat, penulis mengumpulkan anak-anak siswa/siswi SD dan
SLTP selanjutnya dimulai mengadakan pembinaan anak-anak tersebut lewat Sekolah
Minggu. Ternyata Sekolah Minggu berjalan dengan baik dan lancar, lewat Sekolah
Minggu inilah anak-anak dibina dan dibimbing agar anak-anak sadar bahwa sebagai
insan yang beriman mengerti tentang kewajiban dan tanggung jawab mereka terhadap
tempat sucinya.
Setelah Sekolah Minggu berjalan
dengan baik kemudian pembinaan terhadap anak dewasa dan orang tua juga dimulai.
Pembinaan orang tua dan anak dewasa lewat kegiatan serasehan untuk membahas dan
mendalami ajaran agama, adapun materi yang dibahas mengambil sloka-sloka dalam
Kitab Suci Sarasamuscaya. Serasehan ini dilaksanakan seminggu sekali yaitu pada
hari RABU, sedangkan tempat serasehan bergilir keliling dirumah umat yang satu
ke umat lainnya sekaligus untuk mengakrabkan kekeluargaan umat Hindu. Karena
mendapat tanggapan cukup baik dari peserta serasehan, sekalipun memaksa penulis
sebagai pemrakarsa serasehan untuk bekerja lebih giat dan cukup melelahkan namun
memiliki kebanggaan tersendiri sehingga penulis tidak merasa terbebani dan
semua berjalan dengan baik. Betapa tidak melelahkan karena setiap serasehan,
sejak dari pembacaan sloka, mengalih bahasakan sloka tersebut kedalam bahasa
Jawa, dan setelah mendapatkan beberapa tanggapan dari peserta, dalam menambah
keterangan dan mengambil kesimpulan ajaran yang terkandung dalam sloka tersebut
penulis juga harus menggunakan bahasa Jawa karena 60% lebih pesertanya
orang-orang tua yang tidak mampu berbahasa Indonesia.
Bagi penulis semua itu dapat diambil
hikmah dan keuntungannya karena seandainya tidak mengadakan kegiatan serasehan tidak
mungkin penulis akan mengalih bahasakan kitab Sarasamuccaya yang terdiri dari
511 itu kedalam bahasa Jawa. Dengan adanya kegiatan tersebut sehingga sampai
dengan tahun 1999 penulis berhasil menyelesaikan pengalihan bahasa kitab
Sarasamuccaya itu dalam bentuk diktat Sarasamuccaya bahasa Jawa untuk kalangan keluarga
sendiri. Dengan adanya kegiatan serasehan ini berarti kegiatan keagamaan umat
sudah pulih kembali, kesadaran akan pentingnya tempat ibadahpun muncul kembali
sehingga bangkit semangat dari umat untuk membentuk Panitia Pembangunan Pura
yang baru karena Panitia yang ada sudah tidak berfungsi lagi. Dengan harapan
terbentuknya Panitia baru nanti dapat melanjutkan pembangunan tempat ibadah
yang sangat didambakan oleh umat. Adapun
Susunan Pengurus Panitia Pembangunan sebagai berikut :
1. Ketua I : Sdr. Siswomiharjo
Ketua II : Sdr. Parjiyono
2. Sekertaris I : Sdr. Suparno S
Sekertaris II : Sdr. Marino
3. Bendahara : Sdr. Sumanto
4. Pembantu : 1. Sdr. Mardiwiyoto
2.
Sdr. Yotosuparno
3.
Sdr. Ratnosumanto
4.
Sdr. Atmowiyono
5.
Sdr. Harnomulyono
6.
Sdr. Trisnomiharjo
Dengan sudah terbentuknya Panitia
ini penggalian dana yang menjadi kesepakatan umat digalakkan lagi sehingga pada
tanggal 16 Pebruari 2000, dengan swadaya umat yang dibantu oleh tenaga ahli
yaitu Romo Pandita Puja Brata Sejati (Romo Maming) beserta dengan anak buahnya.
Rencana pembangunan selanjutnya adalah membangun KORI AGUNG.
Sesuai dengan keputusan musyawarah
sebelumnya, bagi umat kecuali bergotong-royong tenaga melayani tukang juga
menanggung komsumsi tenaga ± 25 orang
setiap hari secara bergilir. Misalnya hari ini keluarga Soma yang menyediakan
komsumsi untuk satu hari, besuk pagi gantian keluarga Pawiro dan hari
berikutnya disediakakan oleh keluarga Karno, begitulah seterusnya hingga
pembangunan selesai.
Tanggal 17 Juli 2001 dengan
berbekal proposal, Panitia sowan menghadap Bapak Kapolres Kabupaten Klaten
Bapak Drs. Ketut Yoga MM untuk mohon bantuan dana secara pribadi. Panitia
merasa lega menerima jawaban Bapak Kapolres yang meyakinkan dengan jawaban,
“Kalaupun saya dapat membantu, tidak akan saya berikan berupa uang tetapi
berupa material, sebab saya sudah trauma hal-hal membuat saya kecewa”.
Tanggal 24 Juli 2001 kesanggupan
Bapak Kapolres diwujudkan dengan mengirim Semen Gresik sebanyak 50 zag. Segera
malam harinya Panitia mengumpulkan umat untuk diajak musyawarah membicarakan masalah
bantuan tersebut dan menentukan tindak lanjutnya,. Kesimpulannya sesuai dengan
proposal yang diajukan, bantuan semen itu digunakan untuk merenovasi Balai
Banjar dan juga merenovasi Pagar Pura yang semula tingginya baru 1M dibuat
menjadi 2M.
Disamping melaksanakan bangunan,
mengingat kemampuan umatnya yang sangat terbatas itu maka Panitia tidak
bosan-bosan setiap tahun mengajukan proposal baik ke Pusat, ke Pemerintah
Daerah Tingkat I, maupun ke Pemerintah Daerah Tingkat II sehingga tanggal 20
Mei 2002 Panitia menerima surat dari Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa
Tengahyang isinya memerintah agar
Panitia mengirimkan Copy nomor rekening Bank BPD dan materai Rp 6.000,00. Maka
Panitia segera membuka rekening Bank di Bank BPD Klaten.
Tanggal
5 Juli 2002 transfer uang bantuan dari Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Tengah
sebesar Rp 5.000.000,00 ( lima juta rupiah ) sudah masuk dalam rekening Panitia
dan bersamaan waktunya proposal yang diajukan Panitia ke Pemerintah Daerah
Tingkat II Klaten juga dikabulkan, sehingga pada bulan itu pula Panitia
menerima bantuan dari Pemerintah Daerah Tingkat II Klaten sebesar Rp 500.000,00
( lima ratus ribu rupiah ).
Tanggal
15 Juli 2002 Panitia mengumpulkan umat diajak musyawarah tentang penggunaan
uang tersebut dan kesimpulan dalam musyawarah tersebut uang bantuan sebesar Rp.
5.500.000,00 ( lima juta lima ratus ribu rupiah ) ditambah swadaya umat
digunakan untuk membangun Gedung Candi, Pangrurah dan pagar penyengker. Adapun
tenaga ahlinya juga ngaturi / mengundang Rama Pandita Puja Brata Sejati (Rama
Maming) beserta anak buahnya sampai dengan upacara melepaspun pelaksanaannya
dipimpin oleh Rama Pandita Puja Brata Sejati.
Atas nama umat, Panitia
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rama Pandita Puja Brata
Sejati (Romo Maming) atas segala bantuan yang diberikan kepada umat Hindu Desa
Tumpukan. Dalam kiprahnya yang tidak mengenal waktu dan tanpa mengenal lelah
pagi, siang, sore, dan malam haripun kalau ada yang perlu yang dilembur tetap
dikerjakan. Termasuk juga para pengikutnya pantas mendapatkan acungan jempol
karena semangat kerjanya tidak pernah tampak mengendor. Selain menyumbang
keahlian dan tenaga yang tidak ternilai harganya itu, Romo Pandita juga memberi
sumbangan yang berbentuk material yaitu Patung
SIWA yang di stanakan di dalam Candi
Gedong yang seharusnya seharga Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah ). Panitia
hanya diminta mengganti biaya transportnya saja sebesar Rp 200.000,00 (Dua
ratus ribu rupiah). Disela-sela pekerjaan yang sangat memeras keringat tersebut
Romo Pandita juga masih menyempatkan waktu memberikan pembinaan kepada umat dan
membimbing para pemangku dalam
melaksanakan upacara – upacara agama. Begitulah perjuangan Romo Pandita Puja Brata
Sejati (Romo Maming) demi mendukung eksistensi Hindu Dharma di Desa Tumpukan.
Seperti telah disampaikan, didepan
Panitia setiap tahun tidak ketinggalan selalu mengajukan proposal baik kepada
Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Tengah maupun kepada Pemerintah Daerah Tingkat
II Kabupaten Klaten. Pada tahun anggaran berjalan, ternyata proposal yang
diajukan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Klaten dikabulkan.
Tanggal 7 September 2004 Panitia dipanggil ke Pemerintah Daerah Tingkat II
Klaten untuk mengambil uang bantuan sebesar Rp 2.000.000,00 (Dua juta rupiah).
Tanggal 10 September 2004 Panitia
mengajak umat bermusyawarah tentang penggunaan dana bantuan tersebut sekaligus
menggali swadaya umat dan kesimpulan pembangunan dilanjutkan memasang paping
dihalaman pura seluas ± 320 m². Agaknya sudah terbiasa kalau para bapak
bermusyawarah tentang pembangunan, para ibu tidak mau ketinggalan mereka juga
bermusyawarah tentang komsumsi serta mengatur jadwal pelaksanaannya agar tidak
tabrakan. Jadi setiap melaksanakan pembangunan, tukang serta tenaga kerja tetap
bekerja sehari penuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar